BAB I
PEMBAHASAN
A.
Musyawarah
Islam telah menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya
dalam banyak ayat dalam al-Qur'an, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam
kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen penting
dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang beriman
dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali dengannya, ini
disebutkan dalam surat khusus, yaitu surat as syuura, Allah berfirman: (Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami
berikan kepada mereka.) (QS. as Syuura: 38)
Oleh karena kedudukan musyawarah
sangat agung maka Allah I menyuruh rasulnya melakukannya, Allah berfirman: (Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.) (QS. Ali Imran: 159)
Perintah Allah kepada rasulnya untuk
bermusyawarah dengan para sahabatnya setelah tejadinya perang uhud dimana waktu
itu Nabi telah bermusyawarah dengan mereka, beliau mengalah pada pendapat
mereka, dan ternyata hasilnya tidak menggembirakan, dimana umat Islam menderita
kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush'ab dan
Sa'ad bin ar Rabi'. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya untuk tetap
bermusyawarah dengan para sahabatnya, karena dalam musyawarah ada semua
kebaikan, walaupun terkadang hasilnya tidak menggembirakan.
1)
Musyawarah
Rasulullah dengan para sahabatnya
Rasulullah r adalah orang yang suka bermusyawarah dengan para
sahabatnya, bahkan beliau adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan
sahabat. Beliau bermusyawarah dengan mereka di perang badar, bermusyawarah
dengan mereka di perang uhud, bermusyawarah dengan mereka di perang khandak,
beliau mengalah dan mengambil pendapat para pemuda untuk membiasakan mereka
bermusyawarah dan berani menyampaikan pendapat dengan bebas sebagaimana di
perang uhud. Beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya di perang khandak,
beliau pernah berniat hendak melakukan perdamaian dengan suku ghatafan dengan
imbalan sepertiga hasil buah madinah agar mereka tidak berkomplot dengan
Quraisy. Tatkala utusan anshar menolak, belia menerima penolakan mereka dan
mengambil pendapat mereka. Di Hudaibiyah Rasulullah r
bermusyawarah dengan ummu Salamah ketika para sahabatnya tidak mau bertahallul
dari ihram, dimana beliau masuk menemui ummu Salamah, beliau berkata,
"manusia telah binasa, aku menyuruh mereka namun mereka tidak ta'at
kepadaku, mereka merasa berat untuk segera bertahallul dari umrah yang telah
mereka persiapkan sebelumnya," kemudian ummu Salamah mengusulkan agar
beliau bertahallul dan keluar kepada mereka, dan beliau pun melaksanakan
usulannya. Begitu melihat Rasulullah bertahallul, mereka langsung segera
berebut mengikuti beliau.
Rasulullah r
telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim dengan perkataan dan
perbuatan, dan para sahabat dan tabi'in para pendahulu umat ini mengikuti
petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas dalam
masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.
2)
Musyawarah
fleksibel
Dalam masyarakat muslim seorang
penguasa dalam melaksanakan tugas kenegaraan harus berkonsultasi dengan para
ulama, orang-orang yang berpengalaman, dan bisa juga ia membentuk majlis syura,
yang tugasnya mempelajari, meneliti, dan menyampaikan pendapat dalam hal-hal
yang dibolehkan berijtihad oleh syari'at. Ini semua dalam rangka mengikuti apa
yang telah dilakukan oleh Rasulullah r, dimana ketika orang-orang bijak yang mewakili rakyat di
madinah, ketika mereka berkumpul di sekitar beliau dan mereka semua adalah
sahabat, Rasulullah bermusyawarah dengan mereka tentang hal-hal yang tidak ada
wahyu dan nash, memberikan kebebasan kepada mereka untuk berbicara dan berbuat
dalam urusan keduniaan; karena mereka lebih pengalaman dahal hal ini, dan arti
(keduniaan) di sini adalah tidak berkaitan dengan hukum syari'at atau masyarakat,
akan tetapi bekaitan dengan pengalaman ilmiah, seperti seni berperang,
menggarap tanah, memelihara buah-buahan dan seterusnya, di zaman kita sekarang
ini bisa kita namakan, murni urusan keilmuan, dan urusan praktek amaliah,
Rasulullah memberikan kebebasan kepada mereka untuk berbuat dalam hal-hal ini
dengan mengatakan: "kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian."
Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa
melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan diktator, menyerahkan kepada
manusia untuk menentukan bagaimana cara melaksanakan musyawarah, untuk
memberikan keluwesan dan memperhatikan perubahan situasi dan kondisi, oleh
karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan berbagai
cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan
pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian membuat garis-garis besar
haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili
mereka, yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan
pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan musyawarah, yakni dengan
hukum Allah dan pendapat umat.
Ini merupakan fleksibelitas dalam mengaplikasikan
musyawarah dalam masyarakat muslim, dan inilah bidang bagi para mujtahid,
orang-orang yang punya ilmu dan pengalaman dalam membuat undang-undang Islam,
yang menghalangi penyimpangan para penguasa dan keberanian para tiran dalam
melanggar hak Allah dalam kedaulatannya, dan hak manusia dalam menghambakan
diri padaNya.
Penjamin utama dalam merealisasikan
ini semua adalah kesadaran rakyat terhadap wajibnya melaksanakan hukum Allah,
dan hanya menghambakan diri padaNya, dengan menjauhkan diri dari pengagungan
atau pengkultusan terhadap golongan atau individu dalam bentuk pemimpin atau
raja atau pahlawan, karena ini semua bertentangan dengan akidah tauhid, dan
merupakan bahaya yang sangat besar apabila masyarakat sampai kepada
pengkultusan ini dimana seseorang merasa hina di hadapan pemimpin yang cerdas,
atau penguasa satu-satunya, atau raja yang mulia, atau partai yang berkuasa,
dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk berhala yang menyerupai syi'ar ibadah,
dan menjatuhkan manusia kepada kesyirikan baik mereka meyadari atau tidak, dan
ini semua tidak boleh terjadi dalam masyarakat muslim yang disinari oleh
petunjuk al-Qur'an dan hadits.
B. Menegakkan Keadilan
Al-Quran memerintahkan kita
supaya berlaku adil dalam mengucapkan kata-kata terhadap siapa pun. dan
apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil(Q.S.6: 152). Apa yang dimaksud dengan keadilan kata-kata?
Keadilan kata-kata,
kata Khalid Muhammad Khalid, bererti jangan hendaknya kata-katamu sampai
menyakiti hati tanpa memperdulikan siapakah orangnya; walupun kata-kata itu
benar dan nyata sebagaimana halnya cacat dan keganjilan yang terdapat pada diri
seseorang, maka kata-kata yang demikian itu bererti memperkosa keadilan dan
berusaha menyingkirkan keadilan. (Khalid, 1984: 155)
Ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi,
Bagaimana kiranya kalau yang saya katakan itu memang benar-benar ada padanya?.
Beliau menjawab: Kalau memang benar bererti engkau mengumpat; bila tidak,
maka engkau berdusta. (Muslim) Dalam kesempatan lain Rasul memperingatkan
bahawa, Orang muslim itu ialah orang yang selamat kaum muslimin daripada
kejahatan lidahnya dan tangannya. (Muttafaqun alaih). Menyakiti orang lain
dengan tangan adalah perbuatan aniaya, begitu juga menyakiti orang lain dengan
lidah, -itu pun perbuatan zalim. Ini melanggar prinsif keadilan. Itulah
sebabnya Rasul melarang membicarakan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan
seseorang, walaupun apa yang kita perkatakan itu benar-benar ada dan terdapat
padanya, yang dalam istilah agama disebut ghibah (mengumpat). Tentu saja
dalam hal ini ada pengecualian; Misalnya menjelaskan ciri-ciri seseorang kepada
orang yang belum kenal dan belum pernah berjumpa dengannya, atau menyebut
keburukan seseorang kerana untuk mengambil pelajaran (Itibar) daripadanya, atau
untuk memberikan kesaksian dimuka mahkamah, dan sebagainya. (An-Nawawi,II:
413). Ini dibolehkan dalam agama; kerana yang demikian itu memang sudah pada
tempatnya pula kita melakukannya dan itu pun termasuk juga kedalam adil.
Bukankah adil itu meletakkan sesuatu pada tempatnya, sebagaimana
didefinisikan orang?
Ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Daud as. untuk
memutuskan perkara diantara manusia, Ia berkata: Hai Daud, sesungguhnya kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
kerana ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (Q.S.38: 26). Didalam ayat
itu ada dua hal yang mesti diperhatikan: pertama, mengambil keputusan hukum
dengan adil; dan kedua, jangan mengikuti hawa nafsu. Ini
diperingatkan oleh Allah swt , kerana seringkali penguasa memerintah dan
menetapkan hukum atas dasar seleranya peribadi (hawa nafsu), sehingga
menimbulkan ketidakadilan.
Sebenarnya ayat diatas tidak menyebut istilah adil,
melainkan al-haq yang lebih sering diterjemahkan dengan kebenaran (fahkum
baynan-Nasi bil-haq). Tetapi yang dimaksud dengan al-haq -dalam
konteks hukum- memang adil itu. Itulah sebabnya Team Penterjemah Al-Quran
dan Terjemahannya serta mufassir lain, menafsirkan al-haq tadi dengan adil.
Jadi, keadilah hukum itu adalah mengikuti dan menetapkan perkara dengan
kebenaran. Adil dalam ayat tersebut (atau al-haq) dipertentangkan dengan
hawa nafsu; maka tindakan tidak adil itu adalah tindakan yang mengikuti hawa
nafsu. Dalam bahasa ilmiah sekarang, hawa nafsu itu adalah egoisme, kepentingan
peribadi atau golongan, atau subyektivisme.(Rahardjo, 1994:23).
Bila untuk standar keadilan hukum Allah swt.
menggunakan kata al-haq (kebenaran), maka untuk standar keadilan kata-kata
Allah menggunakan istilah Qawlan Sadidan, sebagaimana yang terdapat pada ayat: Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah qawlan
sadidan, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni
bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.(Q.S.33:70-71).
Apa arti Qawlan Sadidan? Al-Quran dan Terjemahannya
menafsirkan dengan perkataan yang benar. Ini sejalan dengan Dr.
Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Dr. Muhammad Muhsin Khan, dari Islamic University
Al-Madinah Al-Munawwarah, yang menterje-mahkannya kedalam Bahasa Inggeris
sebagai the truth. Sedangkan Ibnu Katsir menjelaskan makna qawlan
sadidan itu dengan: ay mustaqman l Iwijja fhi wal inhirf (iaitu
perkataan yang lurus, tidak berbelit-belit, dan tidak ada padanya penyelewengan
makna).
Jika pada ayat diatas kita diperintahkan supaya mengucapkan
qawlan sadidan, maka pada ayat lain kita dilarang mengatakan Qawlaz-Zur. maka
jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah qawlaz-Zur.(Q.S.22:30).
Qawlaz-Zur oleh Al-Quran dan Terjemahannya ditafsirkan dengan perkataan-perkataan
dusta, atau lying speech seperti yang diterjemahkan oleh Al-Hilali
dan Khan. Dr. Muhammmad Hasan Al-Himshi menjelaskan maksud Qawlaz-zur itu
sebagai qawlal-bathili wal-kazibi al-qobih (perkataan yang bathil dan
bohong lagi keji). Maka Qawlan Sadidan bertentangan dengan Qawlaz-Zur.
Al-Qur'an mengatakan bahwa berbicara yang benar,
menyampaikan pesan-pesan yang benar adalah prasyarat untuk kebaikan
(kemashlahatan) amal perbuatan dan perilaku kita di dunia ini. Kalau kita ingin
menjadi orang yang baik, maka perbaikilah lebih dahulu kata-kata yang kita
ucapkan, berbicaralah dengan benar dan jujur. Bila kita ingin memperbaiki
masyarakat, kita harus menyampaikan pesan yang benar. Dengan perkataan lain,
masyarakat akan menjadi rosak bila pesan komunikasi tidak benar, bila orang
menyembunyikan kebenaran, bila orang menebar fitnah, dan bila orang tidak lagi
memperhatikan moral dalam berbicara, dan sebagainya.
C. Amar Ma'ruf Nahi Mungkar
1.
Al-Ma’ruf
merupakan ismun jami’ (kata benda yang mencakup) tentang segala sesuatu yang
dicintai ALLAH SWT baik perkataan, perbuatan yang lahir maupun batin yang
mencakup niat, ibadah, struktur, hukum dan akhlaq. Dan disebut ma’ruf
karena fitrah yang masih lurus dan akal yang sehat mengenalnya dan menjadi
saksi kebaikannya. Dan makna amar ma’ruf adalah berdakwah untuk melaksanakannya
dan mendatanginya dengan disemangati.
2.
Al-Munkar adalah ismun jami’ yang
mencakup segala sesuatu yang dibenci Allah dan tidak diridhai-NYA, baik berupa
perkataan, perbuatan yang lahir maupun yang batin, termasuk di dalamnya syirik,
penyakit-penyakit hati, menyia-nyiakan ibadah, perbuatan yang keji, dll. Dan
disebut munkar karena fitrah yang lurus dan akal sehat mengingkarinya, bersaksi
atas keburukannya, bahayanya dan kerusakannya. Dan makna nahi munkar adalah
mencegah manusia dari mendatangi dan melakukannya dengan menjauhkan darinya
menghal-halangi darinya dan memotong sebab ke arahnya.
Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukumnya adalah wajib,
berdasarkan dalil-dalil berikut :
1.
Ada Perintah yang Tegas baik
Secara Tersurat maupun Tersirat
Adapun perintah yang
tegas dan tersurat adalah firman ALLAH SWT: “Maka hendaklah ada diantara kalian
satu kelompok yang mengajak pada kebaikan dan memerintahkan yang ma’ruf serta
mencegah dari kemungkaran, maka mereka itulah orang-orang yang berbahagia.”
Para mufassir menyatakan bahwa kata min dalam ayat itu bukan bermakna li tab’id
(menunjukkan sebagian) melainkan bermakna lit tabyin/lil bayan
(memperkuat/menjelaskan), hal-hal ini diperkuat dengan akhir ayat yang
menegaskan bahwa yang berbahagia adalah yang melakukannya. Juga hadits nabi
SAW: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah ia
mengubahnya dengan tangannya, dan apabila tidak mampu maka hendaklah diubahnya
dengan lisannya dan jika ia tidak mampu maka hendaklah diubahnya dengan
hatinya, tetapi itu adalah selemah-lemah iman.” Komentar nabi SAW pada orang
yang hanya mampu melakukannya dengan hati sebagai itu adalah selemah-lemah iman
merupakan penguat kedua akan wajibnya amar ma’ruf nahi munkar.
Adapun perintah yang jelas namun tersirat
ada pada firman Allah SWT: “Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan manusia
karena memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada
Allah.” Penyebutan amar ma’ruf nahi munkar sebelum beriman pada Allah
menunjukkan urgensinya. Dalam hadits nabi SAW disebutkan: “Sesungguhnya manusia
jika mereka melihat kemungkaran lalu ia tidak mengubahnya maka hampir-hampir
saja Allah mengazab mereka semua.”
2.
Karena Risalah Nabi SAW Merupakan
Nabi dan Rasul Terakhir
Artinya bahwa risalah
nabi SAW merupakan risalah yang terakhir dan mencakup seluruh alam ini sampai
hari Kiamat, sehingga semua manusia terkena hukum tersebut dan wajib
mengamalkannya. Oleh karenanya diperlukan penjelasan tentang apa-apa yang telah
ditunjukkan oleh risalah tersebut tentang hal-hal-hal-hal yang baik dan ancaman
dari hal-hal yang buruk sampai hari Kiamat kelak.
3.
Secara Umum Berdasarkan Kaidah
Saling Tolong-menolong
Secara umum
berdasarkan kaidah saling mendukung, saling membantu di antara anggota
masyarakat, maka wajib bagi setiap anggotanya berusaha untuk kemaslahatan
dirinya dan kemaslahatan orang-orang lainnya, serta berusaha sungguh-sungguh
untuk mencegah keburukan baik yang akan menimpa dirinya ataupun orang lain.
Maka amar ma’ruf nahi munkar merupakan 2 cara untuk menjaga kewajiban tersebut,
oleh karenanya maka keduanya menjadi wajib juga berdasarkan kaidah ushul fiqh
apa-apa yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia
menjadi wajib pula.
D. Hubungan
Pemimpin dan yang dipimpin
Allah Pemimpin orang-orang yang beriman;Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.Dan oarang-orang yang
kafir,pemimpin-pemimpin mereka adalah thaghut,yang mengeluarkan meraka dari cahaya
kepada kegelapan.Mereka itu adalah penghuni neraka.Mereka kekal
didalamnya." (Q.S..AL-Baqarah 2:257).
Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat di atas adalah simbol dari
segala bentuk kekufuran,kemusyrikan,kefasikan dan kemaksiatan.Atau dalam bahasa
sekarang azh-zhulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang
bertentangan dengan ajaran islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme,
materialisme, hedonisme dan lain sebagainya. Sedangkan an-Nur adalah
simbol dari ketauhidan,keimana,ketaatan dan segala kebaikan lainnya.
At-thaghut adalah segala sesuatu yang di sembah (dipertuhan) selain dari AllahSWT dan dia suka di perlakukan sebagai Tuhan tersebut.Menurut sayyid Qutub, Thaghut adalah sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah di gariskan oleh Allah SWT untu hamba-Nya.Dia bisa berbentuk pandangan hidup,peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah SWT.
At-thaghut adalah segala sesuatu yang di sembah (dipertuhan) selain dari AllahSWT dan dia suka di perlakukan sebagai Tuhan tersebut.Menurut sayyid Qutub, Thaghut adalah sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah di gariskan oleh Allah SWT untu hamba-Nya.Dia bisa berbentuk pandangan hidup,peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah SWT.
Secara operasioanla kepemimpinan Allah SWT itu
dilaksanakan oleh rasulullah saw,dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu
dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman.Hal itu dinyatakan di dalam
Al-Qur'an:
"Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah,Rasul-Nya,dan orang-orang yang beriman,yaitu yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,seraya mereka tunduk (kepada Allah)." (QS.Al-Maidah 5:55)
"Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah,Rasul-Nya,dan orang-orang yang beriman,yaitu yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,seraya mereka tunduk (kepada Allah)." (QS.Al-Maidah 5:55)
Kriteria Pemimpin
Pemimpin umat atau dalam ayat diatas disitilahkan
dengan waliy dan dalam ayat lain (QS.AN-Nisa'4:59) disebut dengan ulil
amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah saw setelah beliau meninggal
dunia.Sebagai Nabi dan rasul,Nabi Muhammad saw tidak bisa
digantikan,tapisebagai kepala negara,pemimpin,ulil amri tugas beliau
dapat digantikan.
Orang-orang yang dapat
dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat
kriteria sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 55 di atas.
1.
Beriman kepada Allah SWT
Karena ulil amri
adalah penerus kepemimpinan rasulullah saw,sedangkan Rasulullah sendiri
pelaksana kepemimpinan Allah SWT,maka tentu saja yang pertama sekali harus
dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada
Allah,Rasul,dan rukun iman yang lainnya).Tanpa keimanan kepada Allah dan
rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan
Allah di atas permukaan bumi ini.
2.
Mendirikan Shalat
Shalat adalah ibadah
vertikal lansung kepada Allah SWT.Seorang pemimpin yang mendirikan shalat
diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik denga Allah SWT.Diharapkan
nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat
tercermin dalam kepemimpinannya.Misalnya nilai kejujuran .
3.
membayar Zakat
Zakat adalah ibadah
mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial.Seorang pemimpin
yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya.Dia tidak
akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal.Dan lebih dari
pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinngi terhadap kaum dhu'afa dan
mustadh'afin.
4.
Selalu Tunduk patuh Terhadap Allah
SWT
Dalam ayat di atas
disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku' (wa hum raki'un)
.Ruku' adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan rasul-Nya
yangsecara konkret dimanefestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah(total),baik
dalam aspek aqidah,ibadah,akhlaq maupun mu'amalat.Aqidahnya benar (bertauhid
secara murni dengan segala konsekuensinya,bebas dai segala bentukkemusyrikan),
ibadahnya tertib dan sesuai tuntunan Nabi,akhlaqnya terpuji
(shidiq,amanah,adil,istiqamah dan sifat-sifat mulia lainnya) dan mu'amalatnya
(dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syariat Islam.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut
diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Islam mengakui prinsip musyawarah
dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan
diktator, menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bagaimana cara
melaksanakan musyawarah, untuk memberikan keluwesan dan memperhatikan perubahan
situasi dan kondisi, oleh karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai
macam bentuk dan berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang
penting pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian
membuat garis-garis besar haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh
umat atau yang mewakili mereka, yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi,
dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan
musyawarah, yakni dengan hukum Allah dan pendapat umat.
Orang-orang yang dapat
dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat
kriteria sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 55 di atas.
1.
Beriman kepada Allah SWT
2.
Mendirikan Shalat
3.
membayar Zakat
4.
Selalu Tunduk patuh Terhadap Allah
SWT
DAFTAR PUSTAKA
DR. Rosihon Anwar, M.Ag, Akidah Akhlak, Pustaka Setia. Bandung,
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar